Konflik antara pemasaran dan keuangan
Para pelaku pemasaran sedang mengalami sebuah tekanan untuk menunjukkan akuntabilitas hasil kegiatan komunikasi pemasaran terhadap kontribusinya kepada perusahaan.
Selama ini, efektivitas kegiatan komunikasi pemasaran ditinjau dari sisi media (misalnya GRP, CPM, dll) dan sikap konsumen terhadap kegiatan komunikasi pemasaran (awareness, asosiasi, image, dll). Pengukuran tersebut telah mendapatkan tantangan terutama bila dikaitkan dengan peningkatan penjualan perusahaan.
Secara perlahan-lahan, pengukuran kegiatan komunikasi pemasaran melalui cara pengukuran keuangan mulai dikenalkan. Pengukuran baru ini telah memikat bagian keuangan atau auditor karena meningkatkan kemudahan pengambilan keputusan dengan menciptakan pembanding yang lebih akurat antara investasi tangible dan intangible.
Selama ini, mereka (bagian keuangan) sangat sulit mengukur efektivitas kegiatan komunikasi pemasaran dibandingkan dengan jika mereka mengukur efektivitas pembelian satu unit mesin produksi.
Mereka ingin tahu seberapa banyak peningkatan pendapatan jika berinvestasi satu rupiah di komunikasi pemasaran. Mereka mulai membuat ukuran keberhasilan kegiatan komunikasi pemasaran berdasarkan ROI (return on investment) Marketing.
Bagian keuangan memiliki alasan kuat untuk menjadikan pengeluaran kegiatan pemasaran sebagai investasi, antara lain:
• Meningkatkan kemudahan pengambilan keputusan dengan menerapkan pembanding yang lebih akurat antara investasi fisik dan pemasaran.
• Dengan menyertakan pelanggan dan tingkat pendapatannya sebagai aset dalam pembukuan perusahaan akan memberikan rasio risiko (debt to equity) dan rasio kinerja (ROI) lebih akurat.
• Pemasaran sebagai sebuah modal investasi akan lebih terkendali dan tepercaya dalam memberikan tingkat pengembalian dalam bentuk aliran kas.
• Cara arbitrary (20% dari penjualan untuk kegiatan pemasaran) kurang memberikan gambaran yang jelas tentang kontribusi kegiatan komunikasi pemasaran terhadap perusahaan.
Tentu pandangan di atas akan mengubah cara berkomunikasi selama ini. Seperti 'seberapa banyak uang yang kita belanjakan untuk iklan?' berubah jadi 'seberapa banyak seharusnya kita berinvestasi untuk seluruh kegiatan pemasaran?' 'pendekatan kreatif mana yang paling efektif' menjadi 'bentuk pengembalian seperti apa yang kita dapatkan dari pendekatan kreatif tersebut?', 'bagaimana kita mengalokasikan antara sales promotion dan PR?' menjadi 'siapa pelanggan yang pantas untuk investasi kita dan tingkat pengembalian yang optimal antara akuisisi dan retensi'.
Pandangan ini tentu menimbulkan pertentangan antara kedua belah pihak. Para pemasar merasa ide perhitungan tersebut sangat konyol karena objektif dari kegiatan komunikasi pemasaran bukanlah penjualan.
Mereka mengklaim bahwa keberhasilan komunikasi pemasaran terletak pada seberapa banyak orang tahu dan beranggapan positif terhadap produk, merek, atau perusahaan. Sehingga untuk mengapitalisasikan sangat sulit.
Ditambah lagi, keputusan beli seseorang tidak hanya ditentukan oleh kegiatan komunikasi pemasaran tetapi juga dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak bisa dikendalikan oleh pemasar misalnya pemasaran dari mulut ke mulut (word of mouth), kompetisi, dan relativitas harga.
Perbedaan pandangan yang tajam memang perlu disikapi secara bijak, mengingat kedua belah pihak memiliki alasan yang kuat. Kesulitan penerapan ukuran keuangan dalam kegiatan pemasaran tidak selamanya belum bisa diterapkan. IBM telah mengembangkan sebuah alat ukur yang dinamakan CELM (customer equity lifetime management solution).
Cara ini sangat membantu dalam penyusunan anggaran pemasaran. Sehingga IBM memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi jenis kontak dengan pelanggan dan jenis program loyalitas yang tepat.
Namun, pendekatan yang bijak juga telah dilakukan oleh Ford. Ford menggunakan istilah ROMO (return on marketing objective) untuk mengukur efektivitas iklan. Cara ini menggunakan pendekatan perilaku pelanggan.
Hasilnya adalah setiap kenaikan satu poin perubahan setara dengan US$100 juta keuntungan per tahun. Berbeda dengan negara Swedia yang menggunakan ukuran kepuasan pelanggan. Di Swedia tiap poin kenaikan kepuasan setara dengan US$7,48 juta.
Frontier Consulting Group pernah melakukan pengukuran tingkat pengembalian investasi iklan TVC dengan konsep ROMO pada sebuah Bank besar di Indonesia. Hasil pengukuran didapatkan bahwa ada perbedaan yang signifikan ketika kita melakukan pengukuran efektivitas iklan berdasarkan objektifnya.
Dalam pengukuran tersebut objektif dibedakan dalam dua hal, iklan sebagai pembentuk citra perusahaan dan iklan sebagai pendorong pembelian. Berdasarkan kedua objektif ini terdapat perbedaan signifikan terhadap nilai return on marketing objective.
Dalam pengukuran return on marketing objective. mengombinasikan tiga data, yaitu data perilaku konsumen, data pengeluaran media, dan data post buy analysis.
Cara penyelesaiannya perlu adanya sebuah diskusi bersama antara bagian pemasaran dan keuangan tentang apa yang menjadi komponen perhitungan dan bagaimana cara menilai kesuksesan sebuah kampanye
Tidak ada komentar:
Posting Komentar